Martin Handoko
2010145004
PERENCANAAN KAWASAN WISATA NEGERI IMPIAN
“Negeri Khayal” memiliki
potensi pariwisata yang beragam, dari keindahan alam, adat istiadat dan keramah
tamahan penduduknya hingga kesiapan sarana dan prasarana pendukungnya. Melihat
potensi tersebut pemerintah setempat mengundang konsultan terkondang dari
“Negeri Impian” untuk merencanakan pariwisata di kawasan tersebut. Singkat kata
konsultan menyelesaikan tugas perencanaan dengan baik. Seiring perjalanan
waktu, dalam pelaksanaannya penguasa setempat sering kali mengintervensi
perencanaan yang sudah dibuat. Kawasan yang mestinya dikonservasi dirubahnya
menjadi kawasan villa mewah. Permukiman tradisional digusurnya menjadi “amenity
core” dengan argumentasi antara lain bahwa hal ini dapat mendongkrak pemasukan
“fulus” ke kas daerah.
Suatu saat anda diundang
oleh “Universitas Halusinasi” untuk menjadi nara sumber dalam seminar akademis
untuk membahas fenomena tersebut diatas dari sudut pandang “Perencanaan
Pariwisata”
v Coba
paparkan materi apa yang anda akan paparkan menyikapi fenomena tersebut di atas
(tentunya menggunakan pendekatan ilmiah utamanya teori-teori perencanaan yang
telah didapatkan)
Penyelesaian :
Menyikapi fenomena tersebut, pendekatan ilmiah yang berkaitan dengan teori-teri
perencanaan yang digunakan antara lain :
1) Proses Perencanaan Pembangunan Kawasan Wisata
Perencanaan (planning) adalah sebuah proses pengambilan
keputusan yang menyangkut masa depan dari suatu destinasi wisata. Planning
adalah proses yang bersifat dinamis untuk menentukan tujuan, bersifat sistematis
dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai, merupakan implementasi dari berbagai
alternatif pilihan dan evaluasi apakah pilihan tersebut berhasil. Proses
perencanaan menggambarkan lingkungan yang meliputi elemen-elemen : politik,
fisik, sosial, budaya dan ekonomi, sebagai komponen atau elemen yang saling
berhubungan dan saling tergantung, yang memerlukan berbagai pertimbangan
(Paturusi, 2001).
Perencanaan adalah sesuatu proses penyusunan tindakan-tindakan yang mana
tindakan tersebut digambarkan dalam suatu tujuan (jangka pendek, jangka
menengah, maupun jangka panjang) yang didasarkan kemampuan-kemampuan fisik,
ekonomi, social budaya,dan tenaga yang terbatas.
Ø Perencanaan sebagai suatu alat atau cara harus memiliki 3 (tiga) kemampuan
(the three brains) yaitu :
a. Kemampuan melihat ke depan.
b. Kemampuan menganalisis.
c. Kemampuan melihat
interaksi-interaksi, antara permasalahan.
Bila kita rinci pengertian
perencanaan tersebut maka dalam batasan perencanaan terdapat unsur: suatu
pandangan jauh ke depan, merumuskan secara kongkret apa yang hendak dicapai
dengan menggunakan alat – alat secara efektif dan ekonomis dan menggunakan
koordinasi dalam pelaksanaan.
2) Pendekatan Perencanaan Pariwisata
A. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Metode
Keterkaitan), yang meliputi :
·
Metode Makro-Meso-Mikro
·
Metode Partisipatif (participatory)
·
Metode Morfologi
B. Pendekatan Pengembangan Kawasan
·
Pendekatan Tipologi
·
Pendekatan Pembangunan Masyarakat
·
Pendekatan Ekowisata
·
Pendekatan Konservasi
3) Tahapan/Tingkatan Pembangunan Pariwisata
Daerah Tujuan Wisata (DTW) atau
resort akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan siklus hidup sebuah
produk. Secara sederhana jumlah pengunjung menggantikan penjualan sebuah
produk. Beberapa penulis menyatakan terdapat tiga tingkatan siklus hidup daerah
pariwisata yaitu; penemuan (discovery), inisiatif dan respon masyarakat
lokal dan kelembagaan. Konsep tingkatan atau tahapan siklus hidup terjadi dalam
pembangunan pariwisata merupakan salah satu permasalahan penting yang harus
diantisipasi.
4) Multiplier Efek Kawasan Wisata
Sifat kepariwisataan yang multi
bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa konsekuensi bahwa
kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan
moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan menciptakan dampak pengganda ini
antara lain berupa:
a) Sales Multiplier : Peningkatan dalam pengeluaran
wisatawan akan menciptakan tambahan pendapatan bagi dunia usaha.
b) Output Multiplier : Peningkatan pengeluaran wisatawan
akan berdampak pada barang dan jasa yang diproduksi masyarakat
c) Income Multiplier : Peningkatan pengeluaran wisatawan
akan menciptakan tambahan pendapatan masyarakat.
d) Government Revenue Multiplier : Tambahan pengeluaran wisatawan
akan meningkatkan pendapatan pemerintah.
e) Employment Multiplier : Kenaikan dalam pengeluaran
wisatawan akan meningkatkan jumlah kesempatan kerja
5)
Perencanaan Kawasan
Wisata yang Berkelanjutan
Perencanaan pembangunan
pariwisata berkelanjutan (P3B) dilakukan dengan mengelola sumber daya
pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar diseluruh wilayah tanah air.
Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk
pembangunan pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan
pendekatan pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008:253), perlu dilakukan
penjelasan dengan melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi
penduduk setempat .
Verseci dalam A.Yoeti (2008 :
253) perencanaan strategis pembangunan
pariwisata berkelanjutan memberikan kerangka
kerja sebagai berikut :
v Keterangan :
1.
Future Generation, yaitu generasi yang akan datang
yang perlu diperhatikan kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang
berimbang.
2.
Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata
yang dikelola dengan memperhatikan keempat factor lainnya : future generation,
equity, partnership, dan carrying capacity.
3.
Equity, yaitu sikap perencana dan
pengelola yang dituntut selalu memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai
pembangunan yang berkesinambungan di waktu yang akan datang.
4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan
untuk menampung kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai
akibat kunjungan wisatawan ini.
5.
Partnership, yaitu kemitraan yang perlu
diciptakan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang.
6) Ecotourism sebagai
Alat dalam Perencanaan Kawasan Wisata berkelanjutan
Ecotourism atau eko-wisata atau
pariwisata ekologi di sub-kategorikan dari pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourism) atau salah satu segmen pasar dari pariwisata berbasis
lingkungan alam (Daud, 2009). Pariwisata berbasis lingkungan alam (pariwisata
hutan/pariwisata bahari) hanya merupakan aktivitas kunjungan ke tempat alamiah
seperti melihat burung di hutan atau biota unik lainnya pada ekosistem pesisir
(seperti rekreasi SCUBA diving). Sedangkan `ecotourism’ memberi keuntungan bagi
lingkungan, budaya, dan ekonomi komunitas lokal seperti mengamati burung atau
biota unik lainnya dengan `guide’ orang lokal, tinggal bersama penduduk lokal
atau pondokan alami (eco-lodge) yang disediakan penduduk masyarakat dan memberi
kontribusi ekonomi bagi penduduk local (eco-charge). Haruslah dibedakan antara
konsep dari `ecotourism’ (wisata ekologi) dan `sustainable tourism’ (pariwisata
berkelanjutan), dimana pengertian `ecotourism’ merujuk pada segmen dari sektor
pariwisata, sedangkan prinsip `sustainability’ diterapkan pada segala tipe
aktivitas, operasi, pembuatan/pendirian dan proyek pariwisata termasuk bentuk
yang konvensional maupun alternatif.
`Ecotourism’ mutlak memperhatikan pemeliharaan
lingkungan alam (conservation), bukan sebaliknya mengubah keaslian alam
sehingga menganggu keseimbangan alam. Pemahaman pariwisata ekologi adalah untuk
menyokong atau menopang keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan
alamnya. Kualifikasi aktivitas dalam ecotourism senantiasa berorientasi
terhadap cara-cara pengembangan dan pemeliharaan keutuhan alam yang
berkelanjutan.
v United Nations of Environment
Programme (UNEP) telah
merangkum karakteristik umum mengenai `ecotoursim’ yaitu :
1.
Berdasar atas bentuk pariwisata alam dengan motivasi
utama turis adalah untuk pengamatan dan mengapresiasi serta menghargai alam
sama seperti budaya tradisional dalam kesatuan daerah alami, seperti kesatuan
ekosistem pulau.
2.
Berisi pendidikan dan interpretasi mengenai obyek alam
yang dijadikan target (misalnya pada objek alam ekosistem hutan, gunung, pulau
atau ekosistem pesisir dan laut).
3.
Secara umum memiliki kelompok kecil turis yang
diorganisasi oleh sekelompok kecil specialist dan bisnisnya dimiliki dan
dijalankan orang lokal. Operator dari luar negeri dengan berbagai ukuran juga
diatur, dioperasikan dan/atau dipasarkan dalam kelompok-kelompok kecil yang
tentunya bekerjasama dengan penduduk setempat.
4.
Seminim mungkin mengurangi dampak negatif pada
lingkungan alam dan sosial-budaya lokal.
5.
Mendukung perlindungan daerah alam.
v Sebagai sarana pengembangan,
`ecotourism’ dapat memajukan 3 tujuan utama dari konvensi keanekaragaman
biologi (Convention on Biological Diversity), yaitu:
1.
Melestarikan keanekaragaman biologi (dan budaya),
dengan penguatan sistem pengelolaan daerah yang dilindungi (public/private) dan
meningkatkan nilai suatu ekosistem
2.
Mempromosikan pemanfaatan keanekaragaman
berkelanjutan, dengan pemerataan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha
dalam bidang `ecotourism’ dan jaringan usahanya ; dan
3.
Membagi keuntungan yang sama dari pengembangan `ecotourism’
dengan komunitas dan penduduk lokal/asli, seperti dengan cara menerima
persetujuan penduduk lokal dan partisipasi penuh dalam perencanaan dan
pengelolaan usaha/bisnis `ecotourism’.
Dengan perencanaan dan
pengelolaan yang baik, `ecotourism’ telah terbukti menjadi alat yang
efektif bagi konservasi jangka panjang bagi keanekaragaman hayati di samping
usaha-usaha lainnya. Bagaimanapun `ecotourism’ telah bergerak maju bagi
industri pariwisata di negara pesisir seperti di Malaysia, Australia, beberapa
Negara Afrika, Meksiko, Jepang, Maldive dan Negara-negara di Karibia.
Bagi keberlangsungan aktivitas `ecotourism’
diperlukan pengaturan yang pantas dan penanganan khusus seperti pengaturan pada
ekosistem yang asli dan dilindungi (Taman Nasional atau Cagar Alam). Karena
dampak dari `ecotourism’ itu
sendiri akan lebih parah dari batasan pariwisata pada umumnya. Hal ini termasuk pengalaman belajar/interpretasi
operator `ecotourism’, pengaturan jumlah kelompok turis dalam skala
kecil, dan sensitivitas terhadap ketegangan dengan pemilik dan penghuni
komunitas setempat khususnya masyarakat lokal.
Beberapa penyimpangan dari tujuan
`sustainable way’ dan ‘ecotourism’ itu sendiri sering terjadi hanya karena
mengejar keuntungan ekonomi semata. Banyak praktisi pariwisata mengklaim dan
membesar-besarkan kerjasamanya dalam perencanaan dengan menjamin dan mendukung
keberlanjutan kelestarian lingkungan, namun pada kenyataanya mengancam budaya,
perekonomian dan sumberdaya masyarakat lokal.
Beberapa kritik untuk eco-tourism
seperti ini dikenal sebagai `eco-façade’ dalam praktek eksploitasi sumberdaya.
Eco-tourism juga kedengarannya `ramah’, namun yang sering menerima dampak
serius adalah pengambilalihan teritorial `alami’ dari Taman Nasional, Cagar
Alam atau daerah perlindungan lainnya yang dipaketkan bagi `ecotourist’ sebagai
pilihan utama tanpa alternatif produk sendiri. Seperti halnya aktifitas wisata
pesisir dan laut ; skin/SCUBA diving yang mengantungkan obyek wisata alamnya
hanya pada `diving-diving point’ yang memang secara alamiah telah ada.
Ironisnya, banyak operator-operator diving menggunakan daerah konservasi
seperti di Taman Nasional Bunaken sebagai ajang pelatihan selam. Di mana,
penyelam-penyelam rekreasi ini menggunakan sumberdaya alam yang telah ada
tersebut untuk aktivitas latihan atau `pre-dive’ bagi penyelam pemula.
Berbagai aktivitas sosial dan
ekonomi masyarakat lokalpun telah diganti dengan aktivitas pariwisata.
Pekerjaan yang ada hubungannya dengan pariwista memonopoli komunitas lokal dan
masyarakat lokal sering hanya dibayar dengan gaji rendah sebagai `guide’,
buruh, penjaja makanan dan souvenir, dan hal inipun tidak berlangsung sepanjang
tahun. Yang diuntungkan sama seperti pariwisata konvensional lainnya yaitu jasa
penerbangan luar negeri, operator wisata dan pengembang yang terkait yang
umumnya datang dari negara maju. Mega-resorts, termasuk hotel yang `lux’,
condominium (daerah yg dikuasai dan diperlakukan sebagai milik sendiri), dan
shopping centres (Mall) meningkat pembangunannya dalam daerah perlindungan
dengan mengatasnamakan `ecotourism’. Hal ini merupakan `eco-terrorism’, dan
mengancam ekosistem dan lingkungan seperti pembangunan daratan buatan atau
marina (reklamasi) yang jelas memusnahkan kehidupan tumbuhan dan organisme di
dalamnya. Demikian pula pengrusakan budaya lokal yang sering terjadi seiring
dengan kerusakan ekosistem lingkungan.
Memang, industri pariwisata dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan perekonomian negara, sekaligus
berpotensi memproteksi lingkungan. Namun lebih dari itu, pariwisata dan
aktivitas pembangunan lainnya dapat menjadi kekuatan besar yang merusak
sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk manusia di dalamnya
Pariwisata sangat tergantung pada
lingkungan, maka tidak mengherankan berbagai macam usaha dari organisasi
pariwisata dunia dan juga organisasi lingkungan mendengung-dengungkan mengenai
pembangunan yang berkelanjutan. Badan dunia pun seperti PBB di tahun 2002 telah
menerima usulan dan menjadikan tahun tersebut sebagai tahun bagi `Ecotourism’
(International Year of Ecotourism), hal ini juga sebagai wujud usaha
perlindungan lingkungan.
Memang, pemanfaatan ekosistem
yang berkelanjutan tidak hanya berhenti dan bergantung dari usaha-usaha yang
telah dilakukan tersebut. Kesadaran secara menyeluruh dari masyarakat, `yang
berkepentingan’ dan teristimewa pemerintah untuk lebih menghargai lingkungannya
akan memberi nilai bagi keberlangsungan pembangunan itu sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh Butler 1980, bahwa terdapat enam tingkatan atau
tahapan dalam pembangunan pariwisata. Ke enam tahapan tersebut adalah :
1.
Eksplorasi
(pertumbuhan spontan dan penjajakan)
Pada tahapan ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung
dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah tujuan
wisata. Di samping jumlah wisatawan yang kecil, juga ditambah dengan fasilitas
dan kemudahan yang kurang baik. Pada tahapan ini atraksi di daerah wisata belum
berubah oleh pariwisata dan kontak dengan masyarakat lokal akan tinggi.
2.
Keterlibatan, Pada tahapan ini, inisiatif
masyarakat lokal menyediakan fasilitas wisatawan, kemudian promosi daerah
wisata dimulai dengan dibantu keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadi
peningkatan jumlah wisatawan. Musim wisatawan dan mungkin tekanan pada publik
untuk menyediakan infrastruktur.
3.
Pengembangan dan
Pembangunan, Pada tahapan ini jumlah wisatawan
yang datang meningkat tajam. Pada musim puncak wisatawan bisa menyamai, bahkan
melebihi jumlah penduduk lokal. Investor luar berdatangan memperbaharui
fasilitas. Sejalan dengan meningkatnya jumlah dan popularitas daerah
pariwisata, masalah-masalah rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan
kontrol secara Nasional dan Regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk
memecahkan masalah yang terjadi, tetapi juga untuk pemasaran internasional.
4.
Konsolidasi dan
Interelasi, Pada tahapan ini, tingkat
pertumbuhan sudah mulau menurun walaupun total jumlah wisatawan masih relatif
meningkat. Daerah pariwisata belum berpengalaman mengatasi masalah dan
kecenderungan terjadinya monopoli sangat kuat.
5.
Kestabilan, Pada tahapan ini, ulah
wisatawan yang datang pada musim puncak wisatawan sudah tidak mampu lagi
dilayani oleh daerah tujuan pariwisata. Ini disadari bahwa kunjungan ulangan
wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan komponen-komponen lain pendukungnya adalah
dibutuhkan untuk mempertahankan jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan
wisata mungkin mengalami masalah-masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.
6.
Penurunan kualitas
(Decline) atau Kelahiran Baru (Rejuvenation).
Pada tahapan ini, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang diketahui
semula dan menjadi “resort” baru. “Resort” menjadi tergantung pada sebuah
daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan
berpeluang kuat untuk berubah, dan fasilitas-fasilitas pariwisata seperti
akomodasi akan berubah pemanfaatannya. Akhirnya pengambil kebijakan mengakui
tingkatan ini dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai “kelahiran baru”.
Selanjutnya terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang seperti
pemanfaatan, pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah
tujuan wisata tersebut.
Relevansi tahapan tersebut di
atas dalam konsep pembangunan pariwisata adalah bahwa setiap tahapan/tingkatan
pembangunan mempunyai karakter yang berlainan, yang memerlukan perlakuan
perencanaan yang berbeda pula. Bali misalnya yang telah berada pada tahapan
“stagnation” oleh karenanya masalah-masalah evaluasi daya dukung (carrying
capacity) memerlukan pencermatan kembali, di samping masalah manajerial lainnya
yang secara keseluruhan perlu dituangkan dalam re-evaluasi tata ruangnya.
Konsekuensi dari adanya perbedaan karakteristik dalam pembangunan atau
perkembangan pariwisata menuntut seorang perencana pariwisata untuk selalu
mencermati bentuk keterkaitan antara komponen kepariwisataan dengan karakteristik
komponen lingkungan untuk menentukan lingkup pekerjaan.